MAKALAH ULUMUL HADITS
OTORITAS SUNNAH MENURUT KAUM
ORIENTALIS
Disusun untuk Memenuhi
Mata Kuliah Ulumul Hadits yang dibimbing Oleh Bapak
M.Barmawi,S.Th.I.
M.Hum
Disusun
oleh :
KELOMPOK
3
Desi
Zahrotul M. ( 082122031)
Fadilatul
Mahmudah ( 082122014 )
JURUSAN
DAKWAH
PROGRAM
STUDI TAFSIR HADITS
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
MARET
2013
KATA
PENGANTAR
Pujisyukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami
berhasil menyelesaikan makalah ulumul hadist ini yang Alhamdulillah tepat pada
waktunya yang berjudul “Otoritas sunnah Menurut orientalis”.
Makalah ini berisikan tentang argumentasi kaum
orientalis tentang kedudukan sunnah. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
pengertian kepada kita semua tentang otoritas sunnah di mata kaum orientalis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata,kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam menyusun makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kiita. Amien
Jember, 30
Maret 2013
Penyusun
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad saw.
Baik berupa perkataan,perbuatan,ataupun ketetapan setelah beliau diangkat
menjadi nabi dan rasul. Sedangkan segala perbuatannya sejak sebelum bi’tshah
disebut dengan sunnah.
Hadits atau merupakan sumber pokok kedua dalam setelah Alqur’an.apa
yang terdapat dalam Alqur’an akan diperjelas di dalam hadist,karena hadist atau
sunnah berfungsi sebagai bayan dari Alqur’an.
Namun perlu diketahui hadist sampai ini masih menjadi perdebatan
dikalangan para ulama’ tentang kesahihannya. Bahkan dari kaum orientalis pun
ikut membahas atau menelusuri tentang hadist.
Kaum orientalis menganggap
bahwa semua hadist tidak otentik,karena di dalamnya banyak mengandung kepalsuan
belaka.kaum orientalis di sini adalah sarjana barat yang notabennya non muslim,namun
mereka sibuk dengan mengkaji seluk beluk islam. Terutama pada Alqur’an dan
hadist. Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis disini adalah seperti Ignaz
Goldziher,joseph Schacht, G.H.A.Juyn Boll,dan lain-lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian dari orientalis ?
2.
Bagaimana
pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam ?
3.
Bagaimana
tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap orientalis?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari orientalis.
2.
Untuk
mengetahui pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada
pemikiran islam.
3.
Untuk
mengetahui tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap orientalis.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Orientalis
Orientalisme berasal dari dua kata,orient dan isme diambil
dari bahasa latin oriri yang berarti terbit. Secara geografis kata orient
bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa
timur.sedangkan istilah isme berasal dari bahasa belanda atau isme dalam bahasa
latin atau ism dalam bahasa inggris yang berarti a doctrine,theory of
system,atau pendirian,ilmu,paham kepercayaan dan system. Jadi menurut bahasa
orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia
timur. Adapula yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainnya. Faham ini
berfokus pada dunia islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai harapan
dalam mengkaji biografi nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta dan
pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir,kekerasan,menyiarkan agama dengan
pedang. Sedangkan orientalis adalah orang-orang barat yang menganut paham
orientalisme.
[1]Secara terminologis, Edward Said memberikan 3 pengertian tentang
orientalisme, yaitu: (1) sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan
bangsa-bangsa timur berdasarkan tempat khusus timur dan pengalaman barat Eropa;
(2) sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontology dan epistomologi barat pada
umumnya;dan (3) sebuah gaya barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan
mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dari beberapa pengertian ini agaknya
pengertian orientalisme dapat disederhanakan menjadi kajian tentang dunia
timur. Dengan pengertian ini, maka orientalis berarti orang yang mengkaji
tentang dunia ketimuran, yang dalam perkembangannya mengalami penyempitan menjadi
dunia islam. Dalam hal ini, ada pendapat yang membatasi pengertiann orientalis
itu pada orang- orang barat saja, disamping pendapat lain yang tidak
membatasinya pada kelompok tertentu.
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap islam bersifat
umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga
lahir berbagai kajian tentang islam seperti Alqur’an, hadits, hukum, dan
sejarah.
2.
Otoritas Sunnah Menurut Kaum Orientalis dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran
Islam.
[2]Sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah, yang isi dan kandungannya
dilafadzkan oleh Rasulullah saw. Yang dimaksud sunnah di sini adalah segala
sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, dan
penetapannya. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah memiliki otoritas yang sama
pentingnya dengan Alqur’an yaitu sebagai sumber penjelas isi kandungan ajaran
islam. Oleh karena itu jumhur ulama’ menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah
yang menempati posisi kedua seetelah Alqur’an. Yang memiliki posisi dominan dan
peran yang sangat urgent dalam perkembangan wacana islam wabil khusus adalah
yang bersinggungan dengan hukum.
Namun pada saat ini banyak sekali
dari kaum orientalis yang mencoba untuk menela’ah tentang Alqur’an dan sunnah. Alqur’an
adalah misi pertama mereka dalam proses penelitian. Tampaknya terdapat beberapa
pintu gerbang yang digunakan sebagai penyerangan terhadap teks Alqur’an. [3]Diantaranya
yaitu para orientalis dari Toledo yang membentuk sebuah komunitas penerjemah
yang terdiri dari Kristen katolik yang tidak memandang netral terhadap islam. Sejalan
dengan pengubahan kebijaksanaan yunani kuno kedalam ilmu pengetahuan Eropa abad
pertengahan. Mereka ingin mengubah kaum muslim menjadi nasrani. Komunitas
tersebut dipimpin oleh seorang ahli bahsa, Robert Of Ketton. Dia mencoba
membuat versi bahasa latin pertama dari Alqur’an suci. Ya, tidak sepenuhnya
“suci” karena di mata Robert, Muhammad adalah seorang tukang obat, bukan
seorang nabi yang sesungguhnya dan kitab yang dibawanya bukanlah berupa titah
ilahi. Robert menghasilkan sebuah bunga rampai tulisan tentang Muhammad dalam
bahasa latin dengan judul “ kisah atau kebohongan arab dan cerita konyol dari
jazirah Arab”. Itulah salah satu usaha kaum orientalis untuk menghancurkan
pemikiran muslim.
[4]Dalam bidang hadits dan sunnah, sikap para orientalis tersebut
tidak terlepas dari sikap dan pencintraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab,
bagaimanapun pembicaraan tentang hadits akan selalu berhubungan dengan
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Muhammad. Dalam konteks ini, pencintraan
Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dua sisi. Satu sisi Muhammad
dipandang sebagai nabi dan rasul tang
telah membebaskan manusia dari kedzaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh De
Boulavilliers dan Savary.
Di sisi lain Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut kristen
dan yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran kristen dan yahudi,
intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta
seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini dikemukakan antara
lain oleh D’Herbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb,
Goldziher, dan Joseph Scahcht. Kesimpulannya mereka juga berpandangan negatif
terhadap hadits.
[5]Mereka juga memandang bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki kapasitas
dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya penetapan hukum yang
sistematis dari Nabi, yang konsekuensinya mengarah pada penolakan sunnah
sebagai sumber hukum islam. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Muhammad sangat
menyadari betapa kurang memenuhi syaratnya untuk menyelesaikan urusan di bidang
hukum kecuali benar-benar mendesak.
[6]Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadits hanya merupakan hasil
karya ulama’ dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama yang
multidimentasional, mereka menganggap bahwa hadits tidak lebih dari sekedar
ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan kristen. Hamilton Gibb
menyatakan bahwa hadits hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari
ajaran yahudi dan kristen. Sementara Ignaz Golziher dan Joseph Schactch, dua
pemuka orientalis ini menyatakan bahwa hadits tidak bersumber dar Nabi Muhammad
melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai
akibat dari perkembangan islam.
Menurut G.H.A. Joynboll sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown,
sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian skeptic terhadap hadits adalah
Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir dalam karyanya “life of
muhammet” dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz goldziher. Menurut M Mustofa
Azami orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadist adalah Ignaz
Goldziher.
Penyandaran suatu hadits secara isnad menurut mereka baru muncul
pada zaman Abbasyiah. Semua usaha kaum orientalis tersebut tidak lain hanya
agar kaum muslim membuang tuntunan Rasulullah sebagaimana orang Kristen
meragukan dan mencampakan Yesus.
[7]Diantara
tokoh-tokoh orientalis tersebut adalah :
a)
Ignaz Goldziher lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di
hongaria. Berasal dari keluarga yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh
luas. Dia sempat nyantri di universitas Al-azhar kairo mesir selama kurang
lebih satu tahun. Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits serta
mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang sebenarnya menurut islam. Menurutnya
hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang perbincangan
politik,keagamaan,dan mistisme dalam islam. Hadist dipakai sebagai senjata oleh
masing-masing mazhab baik kelompok politik maupun paham fiqh berupaya
menggunakan hadits sebagai alat untuk menguai persoalan kehidupan di tengah
umat islam. Jadi hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku
nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran baik politik maupun
keagamaan. Dia juga menyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala
perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat muslim yang
masih baru dan idealitas sunnah dari orang-orang arab sebelum islam.
[8]Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa perbedaan
antara sunnah dan hadits bukan saja dari maknanya, tetapi melebar pada adanya
pertentangan dalam materi hadits dan sunnah. Menurutnya, hadits bercirikan berita
lisan yang dinilai bersumber dari nabi, sedangkan sunnah berdasar kebiasaan
yang lazim digunakan di kalangan umat islam awal yang menunjuk pada permaslahan
hukum, baik ada atau tidak ada berita lisan tentang kebiasaan itu. Dengan
demikian menurut goldziher sunnah bukanlah suatu yang berasal dari Nabi tetapi merupakan kebiasaan
yang sudah berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan dilanjutkan
oleh umat islam sebagai sebuah tradisi.
b)
Joseph Schacht (1902-1969). Orientalis jerman spesialis dalam
bidang fiqh islam, Lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Dia memulai
studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik,teologi,serta
bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1923 dia
mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas Prusla.
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi arab
kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam islam. Dia
menilai bahwa sunnah lebih berarti pada praktik ideal dari komunitas setempat.
Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya hanya sebagai sebuah pelestarian
adat istiadat tradisi masyarakat arab pra islam,yang bercirikan dengan profane
dan magis. Berciri magis maksudnya mengingat kaidah-kaidah hukum yang muncul
dalam penyelidikan dan pembuktian dikuasai oleh prosedur-prosedur
sacral,seperti ramalan,sumpah,dan kutuk. Dan profane mengingat bahwa hukum
dipersempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran seperti contoh metode
pembelajaran.
Joseph Scahcht juga
menyatakan bahwa sunnah merupakan konsep bangsa Arab kuno yang berlaku kembali
sebagai salah satu pusat pemikiran islam. Dalam konteks ini Fazlur Rahman
menyimpulkan makna sunnah menurut Scahcht sebagai tradisi dari nabi yang tidak
ada sama sekali sampai abad kedua hijriyah atau kedelapan masehi. Kebiasaan
sebelum waktu itu tidak dipandang sebagai sunnah nabi, tetapi sebagai sunnah
masyarakat karena sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil penalaran bebas
orang-orang. Dia juga berpendapat bahwa
bagian terbesar dari sanad hadits adalah palsu. Menurutnya, semua orang
mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga
hijriyah. Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama’ abad
kedua hijriyah dalam menyandarkan sebuah hadits kepada tokoh-tokoh terdahulu
hingga akhirnya sampai kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap
hadits tersebut.
c)
[9]Prof. Rev. Mingana, yang dianggap oleh sementara pihak sebagai
ilmuwan ulung dalam bahasa Arab sebenarnya masih memiliki pemahaman yang rapuh
serta belum memadai. Ketika menerbitkan Naskah Penting Hadith Bukhari (An
Important Manuscript of the Traditions of Bukhari,) dalam beberapa alinea,
telah membuat beberapa kekacauan sebagai berikut: ketidaktepatan dalam menyalin
wa haddathani (ia malah menyalin wa khaddamani); Abu al-Fadl bin dibaca dengan Abu
al-Muzaffar, membuang perkataan muqabalah; ketidakmampuan membaca sebagian
kata-kata seperti al-ijazah (dengan semau gue dihapus seluruhnya); menambah
huruf waw; salah dalam menerjemahkan istilah thana dan ana, dan banyak lagi, dengan sederet
kesalahan yang ia lakukan, hanya menempatkan kedudukannya sebagai seorang
ilmuwan tanggung.
d)
Snouck Hurgronje, Ia adalah seorang Orientalis
penggagas agenda penipuan terhadap komunitas Muslim Indonesia untuk menerima
sistem eksploitasi pemerintah jajahan Belanda, "Islam adalah agama
damai," menurut seruannya, "dan kewajiban orang-orang Islam menurut
syariat adalah mematuhi pemerintah Belanda. Dia juga menyatakan bahwa sunnah
semata-mata sebagai karya-karya orang Arab baik sebelum datangnya islam ataupun
sesudahnya.
Gugatan para orientalis
dan misionaris yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup
besar. Melalui tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil
mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam.maka muncullah
gerakan anti hadits di india, Pakistan, Mesir,dan Asia tenggara. Dalam
propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-qur’an saja sudah cukup untuk
menjelaskan semua perkara agama. Propaganda anti hadits ini belakangan
diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi
mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga
merebak di timur tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq shidqi yang
dimuat dalam majalah al-manar kairo mesir. Menurutnya perilaku Muhammad
SAW,tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus persen, umat islam semestinya
berpegang cukup dengan al-qur’an saja.
Terkait dengan kerancuan
metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan
ambivalen(menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi
mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal
dari orang islam, sementara di sisi lain mereka menggunakan hukum-hukum islam
sebagai bahan referensi tanpa mereka sadari. Sikap paradox ini merupakan
konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau
tidak merujuk,antara mempercayai atau mengingkari sumber-sumber islam. [10]Meskipun semua tendensi yang ada berseberangan dengan tradisi
keislaman, para ilmuwan Barat tetap berusaha meyakinkan bahwa mereka sedang
memberi pelayanan terhadap kaum Muslimin dengan menyajikan kajian murni, tidak
setengah-setengah, dan berlaku jujur. Implikasinya adalah, seorang ilmuwan
Muslim yang, katanya, dikelabui oleh keimanan tidak dapat memahami mana yang
salah dan yang benar ketika menganalisis keyakinan mereka.
3.
Tanggapan Para Ulama’ Terhadap Kriktikan Kaum Orientalis
[11]Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang
keabsahan dan autentisitas hadits diatas banyak mendapatkan jawaban dari ulama’
hadits, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan tersebut. Diantara ulama’ yang melakukan koreksi terhadap pendapat
orientalis tersebut adalah Musthafa al Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al Khatib,
Shubhi al Shalih dan Muhammad Musthafa Azami.
Mengenai tuduhan
mereka tentang adanya larangan penulisan hadits oleh Nabi dan tidak adanya
peninggalan tertulis, Shubhi al Shahih mengatakan bahwa larangan penulisan
tersebut disampaikan secara umum pada masa
awal turunnya Alqur’an karena Nabi khawatir hadits tercampur dengan
Alqur’an. Namun setelah sebagian besar Alqur’an telah diturunkan, maka Nabi
memberikan izin penulisan hadits secara umum kepada para sahabat. Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan
hadits merupakan rekayasa umat islam pada abad pertam, kedua, dan ketiga
hijriyah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai berikut.
1.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi,
seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis nabi untuk
menyampaikan hadits kepada yang tidak hadir.
2.
Mayoritas
pemalsuan hadits terjadi pada tahun keempat puluh hijriyah yang dipicu oleh
persoalan politik, karena diantara umat islam pada saat itu ada yang lemah
keimanannya sehingga membuat hadits untuk faksi politik atau golongan mereka.
3.
Objek
penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang
mereka teliti bukan kitab-kitab hadits melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
4.
Teori
“ projecting back” (al qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi
beserta contoh-contoh hadits yang dijadikan sampel.
Dalam
kaitannya dengan tuduhan Ignaz Golziher tentang pemalsuan Al Zuhri terhadap hadits
: yang artinya ( janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga masjid),
menurut Azami tidak ada bukti historis yang memeprkuat tuduhan tersebut, karena
pada satu sisi hadits tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk Az Zuhri,
dan ia tidak pernah bertemu dengan Abd malik ibn Marwan sebelum tahun 81
hijriyah. Karena itu tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan
umat islam berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin Az Zuhri membuat
hadits palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan
orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadits Nabi
yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum,
mereka malah memasukkan hadits-hadits ritual. Sebagai contoh dari 47 hadits
yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan
tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik
yang didiskusikan.
Terhadap tuduhan A.J. wensinck tentang
kepalsuan hadits mengenai syahadat sebagai salah satu rukun islam, menurut
Azami terlalu mengada-ada, karena Wensick tahu persis bahwa dua kalimat
syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjama’ah oleh umat islam
semenjak masa Nabi . Dan kalimat tersebut dikumandangkan dalam adzan. Dengan demikian tuduhan dan pendapat orientalis tentang islam tidak
mesti didasari oleh ketidaktahuan mereka tentang islam yang sebenarnya, tetapi
didasari oleh pretensi dan faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mereka
berpendapat demikian.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian dunia
Barat telah mengalami kemajuan dari sekedar subjektivitas kepada pemunculan
dogma anti ajaran Islam. Pandangan ini berasal dari peristiwa masa lalu; persaingan
agama yang sengit, abad-abad Perang Salib, penjajahan tanah air kaum Muslimin,
dan kebanggaan penjajahan yang berubah menjadi penghinaan terang-terangan
terhadap adat istiadat kepercayaan, dan sejarah kaum Muslimin.
Dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi
pergeseran pendapat tentang Hadits. Sebagian mereka sependapat dengan
Hurgronje, Goldziher, dan Schacht. Namun ada pula yang bertentangan dengan
mereka dalam memandang islam umumnya dan hadits khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shaffat,Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Bin Madi,Faisol
Nasar. 2011. Isu-isu Seputar Sunnah; Studi Perbandingan Ahl al sunnah dan Imamiyah. Jember: Pustaka Radja.
Hujair.A.H
Sanaky. 2006. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Hadits dan Sunnah. Al
Mawarid Edisi XVI.
Al A’zami,M,M. 2005. The History Of Qur’anic Text-From
Revelation to Complication. Gema Insani Press.
Lawrence,
Bruce. 2008. The Qur’an A Biography. Bandung: Karya Kita.
http://nittardiana.blogspot.com/2012/04/makalah-tentang-as-sunnah-berdasarkan. (diakses tanggal 29 maret 2013).
[1]
Dr. Idri Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 305
[2] Faisol
Nasar B.M. Isu-isu Seputar Sunnah Studi Perbandingan Al Sunnah dan Imamiyah.
Jember: Pustaka Radja. 2011. Hlm 1-2
[3] Bruce
Lawrence. The Qur’an A Biography. Bandung: Karya Kita.2008. hlm 75
[4] Dr. Idri
Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 309
[5]
Ibid. hlm 319
[6]
Ibid. Hlm 310
[7]Hujair
A.H. sanaky.Pemikiranfazlurrahmantentangmetodologhaditsdansunnah.
Almawaridedisi XVI. 2006 hlm 264
[8]
Op.cit. Hlm 312
[9]
Prof. Dr. M.M Al A’zami. The History Of Qur’anic Text-From Revelation to
Complication. Gema Insani Press.2005. Hlm 128
[10]
Ibid. 117
[11]
Dr. Idri Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 320-321
hello