Makalah Tafsir Keimanan


.



MAKALAH TAFSIR I ( KEIMANAN )
AYAT TENTANG AHLAK TERPUJI DAN TERCELA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir I (keimanan) yang dibimbing oleh Bapak.H.Mawardi,Lc.
Description: LOGO STAIN















Disusun oleh :
Kelompok 10
Sofi Waridah               ( 082122009 )
Sitti Hariroh                ( 082122013 )
Fadilatul Mahmudah    ( 082122014 )



JURUSAN DAKWAH
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
MARET 2013











PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
            Alqur’an merupakan sebuah pedoman bagi umat islam. Untuk mendalami makna-makna al-qur’an maka diperlukan beberapa ilmu al-qur’an seperti penafsiran yang didalamnya terdapat asbabun nuzul, muhkam mutastabih, qiro’ah,munasabah dan lain sebagainya. Dengan mempelajari ulumul qur’an tersebut maka sangatlah mudah untuk mengetahui makna serta memahami sebuah penafsiran dari Alqur’an.  Penafsiran Alqur’an adalah penjelasan tentang ayat-ayat Alqur’an sesuai dengan kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat dan berbeda-beda. Sehingga hasil dari setiap penafsiran juga bertingkat-tingkat pula.
Dalam makalah ini akan banyak membahas tentang munasabah ayat dengan ayat, surat dan surat. Dengan memahami ilmu ini akan mengetahui keserasian dan kolerasi antara satu ayat dengan yang lainnya atau surat dengan surat yang lainnya. Selain daripada itu, ilmu munasabah juga membahas tentang bagaimana penempatan ayat dan surat itu dimaksudkan . mengapa ayat yang pertama kali turun tidak ditempatkan di awal surat melainkan alfatihah?. Dan mengapa ayat atau surat ditempatkan setelah surat atau ayat ini?.
Untuk memperjelas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka pakar tafsir berijtihad untuk menemukan jawabannya dengan menggunakan beberapa ilmu tafsir terutama pada ilmu munasabah. Sehingga bisa diketahui lebih detail tentang maksud dari setiap ayat  Alqur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
  1. Ayat apakah yang menerangkan tentang ahlak terpuji dan tercela ?
  2. Bagaimana  asbabun nuzul dan tafsir ayat tersebut  ?
  3. Bagaimana munasabah dari ayat tersebut dengan ayat lain atau surat lain ?
  4. Apa hikmah dari ayat tersebut ?

C. TUJUAN MASALAH
  1. Untuk mengetahuhi ayat apakah yang menerangkan tentang ahlak terpuji dan tercela.
  2.  Untuk mengetahui asbabun nuzul dan tafsir ayat tersebut.
  3. Untuk mengetahui bagaimana munasabah ayat tersebut dengan ayat lain.
  4. Untuk mengetahuhi apa hikmah dari ayat tersebut.










PEMBAHASAN
  1. AYAT TENTANG AKHLAQ TERPUJI DAN TERCELA
Surat An Nisa’ ayat 148 :
لَا يُحِبُّ اللهُ الجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ القَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ  وَكَانَ اللهُ سَمِيْعاً عَلِيْماً . ۱۴۸  
Artinya :
“ Allah tidak  menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An nisa’ :148)
Mufrodat :
Kata (لايحب) atau tidak menyukai pelakunya adalah Allah, maksudnya adalah tidak merestui sehingga tidak memberi ganjaran atau bahkan menjatuhkan anksi kepada pelaku sesuatu yang tidak disukai-Nya itu. Kata ini juga mengandung makna tidak diizinkan oleh Allah dan dengan demikian, ia berarti dilarang oleh-Nya atau diharamkan.
Kata (الجهر) al jahr adalah sesuatu yang nyata dan terang, baik oleh mata ataupun oleh telinga. Karena konteks ayat ini berkaitan dengan ucapan, yang dimaksud adalah yang bukan rahasia atau dengan kata lain sesuatu yang didengar oleh telinga orang lain. Kendati demikian, yang tidak disukai-Nya bukan sekedar ucapan buruk, tetapi tentu lebih-lebih lagi perbuatan buruk disebutkannya “ucapan” atau “perkataan” karena ucapan merupakan tingkat terendah dari gangguan kepada orang lain.
Kata من القول باالسوء  ucapan buruk, yang dimaksud di sini adalah do’a kehancuran untuk si penganiaya atau menyebut keburukan yang memang dia sandang atau tidak disandangnya. Semua ini termasuk yang tidak disukai oleh Allah swt. Tetapi di sini tidak menekankan secara khusus larangan tersebut, dan ini sebagai kecaman pendahuluan terhadap kaum yahudi yang melampaui batas keburukan dalam ucapan mereka tentang Isa as. dan ibu beliau.   
Kata (  ظلم الا من ) kecuali orang yang dianiaya merupakan pengecualian, antara lain dengan tujuan untuk memperingatkan orang lain akan sikap buruk dan penganiayaan yang bersangkutan. Tetapi, pembalasan serta akibat penganiayaan  dari yang bersangkutan tersebut harus setimpal. Dengan demikian ucapan buruk yang dilakukan adalah untuk membela diri dan menjelaskan penganiayaan yang terjadi  (orang yang terdzolimi).
B. ASBABUN NUZUL
            Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan seorang tamu yang berkunjung kepada seseorang di Madinah, dan mendapat perlakuan kurang baik, sehingga iapun pindah dari rumah orang itu. Si tamu menceritakan perlakuan terhadap dirinya. Ayat ini membenarkan tindakan orang yang didholimi untuk menceritakan perlakuan yang diterimanya kepada orang lain.
C. TAFSIR SURAT AN NISA’ AYAT 148
            Ayat ini menuntun kaum muslimin dengan mengingatkan bahwa: Allah yang maha suci tidak menyukai perbuatan terang-terangan dengan keburukan menyangkut apapun. Dan yang digaris bawahi di sini adalah menyangkut ucapan buruk sehingga terdengar baik oleh yang dimaki maupun orang lain, kecuali jika sangat terpaksa mengucapkannya oleh orang yang dianiaya maka ketika itu dibenarkan mengucapkannya dalam batas tertentu. Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang adalah maha mendengar ucapan baik atau buruk yang keras dan yang terang-terangan maupun yang hanya didengar oleh pengucapnya sendiri lagi maha mengetahui sikap dan tindakan siapa pun.
            Hukum positif melarang seseorang mengucapkan perkataan secara terang-terangan di hadapan orang lain adalah agar pendengar dan moral manusia terlindungi dari hal-hal yang merusak dan menyakitkan. Seandainya ayat ini berhenti pada kalimat (لايحب الله الجهر بالسوء) tanpa kata (من القول) niscaya ayat ini melarang segala macam kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Perbuatan-perbuatan buruk yang lain memang dilarang, seperti yang tertera dalam QS. An-nur:19.
Ada beberapa pendapat  ulama’ tentang ucapan buruk yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain yakni do’a kehancuran bagi seorang penganiaya atau menyebut keburukan kepada orang yang telah mendzolimi. Pembalasan setimpal tersebut sebagai bentuk pembelaan diri atau pelampiasan tekanan jiwa yang kemungkinan apabila tidak disalurkan akan mengakibatkan dampak buruk atau mengundang tindakan yang melampaui batas. Seperti makian yang tidak benar sehingga mengantar pada pencemaran nama yang membutuhkan kesaksian sejumlah orang.
            Syarat setimpal ini diharapkan dapat seorang mukmin untuk berhati-hati, sehingga dapat mengurungkan niatnya utuk membalasnya atau lebih baik mema’afkan. Karena betapapun ucapan-ucapan buruk apalagi yang terdengar oleh orang lain, akan berdampak luas pada kalangan masyarakat. Karena setiap ucapan yang dilontarkan oleh seseorang akan diteladani oleh orang lain terutama anak kecil. Apalagi berbicara tentang suatu ucapan yang buruk.  Semua ini termasuk hal yang tidak disukai oleh Allah SWT.
            Dari sini dapat dipahami mengapa Allah melarangnya dan mengajurkan agar orang yang dimaki sebaiknya diam dan kalau perlu mema’afkan orang yang telah mendzoliminya. Dalam konteks ini Ja’far As Shiddiq pernah menasihati seseorang yang datang meminta nasihat kepadanya yang bernama Unwan. Ucapan beliau “ siapa yang berkata kepadamu : “ jika engkau mengucapkan satu kata buruk, engkau akan mendengar sepuluh kata buruk dariku”, maka menjawablah dengan berkata “ jika engkau mengucapkan sepuluh kata buruk padaku maka engkau tidak akan mendengar dariku walau sepatah kata”.
            Maka turunlah ayat An Nisa’ ayat 149 :
إِنْ تُبْدُوْا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوْهُ أَوْ تَعْفُوْا عَنْ سُوْءٍ فَإِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا. 
Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa.
Ayat sebelumnya membenarkan membalas ucapan buruk dengan ucapan serupa, tetapi  seperrti dikemukakan sebelum ini yang demikian itu bukanlah suatu perintah melainkan hanya sebuah izin. Ayat ini berusaha mencegah timbulnya sikap ekstrim dalam memahami alasan izin yang disampaikan pada ayat sebelumnya. Ayat ini menganjurkan bahwa jika seseorang menyatakan sebuah kebaikan sehingga diketahui orang lain atau menyembunyikan kebaikan dan tidak satupun mengetahuinya kecuali Allah atau memaafkan kesalahan orang lain padahal telah diberi izin oleh Allah untuk membalasnya maka sesungguhnya Allah pun akan memaafkan seseorang itu. Atau jika seseorang sudah melakukan hal yang demikian berarti dia telah meneladani sifat Allah yang maha pemaaf lagi maha kuasa. Yakni memaafkan orang lain padahal kamu kuasa untuk membalasnya.
            Namun ayat ini merupakan anjuran, bukan sebuah kewajiban. Hal ini karena keinginan membalas merupakan salah satu sikap yang menyertai setiap jiwa sehingga sangat sulit jika ia diwajibkan. Allah mengizinkan membalas pada seseorang yang telah diterangkan di ayat yang lalu, namun dalam ayat ini menaganjurkan untuk memaafkan tanpa harus membalas agar seseorang dapat meningkat pada ahlak terpuji yakni meneladani sifat-sifat Allah.
D. MUNASABAH SURAT AN NISA’ AYAT 148 DENGAN SURAT LAIN
            Surat An Nisa’ ayat 148 membenarkan membalas ucapan buruk dengan terang-terangan bagi orang yang didzolimi, yakni untuk membela diri dan menjelaskan kekeliruan dan penganiayaan yang terjadi. Namun pada ayat ini hanya sebagai sebuah izin bukan anjuran yang harus dilakukan. Karena pada ayat selanjutnya, yakni An Nisa’ 149 bahwa Allah lebih menekankan “ jika kamu menyatakan suatu kebaikan sehingga diketahui orang lain baik dilihat atau didengarnya dan mema’afkan kesalahan orang lain padahal kamu mampu dan diizinkan pula oleh Allah meembalasnya.” Jadi dalam ayat ini Allah lebih menyukai orang yang melakukan kebaikan yakni tidak membalas orang yang telah mendzolimi kita.
Dalam ayat sebelumnya yakni An nisa’ 114 yang artinya” tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali orang-orang yang menyuruh memberi sedekah atau makruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia……”. Ayat ini juga mengandung pelajaran yang sangat berharga menyangkut pembicaraan yang direstui agama, sekaligus mengingatkan bahwa amal-amal lahiriyah hendaknya dilakukan dengan keikhlasan. Karena amal pada garis besarnya tidak keluar dari memberi manfa’at dan menampik kemudharatan, adapun menolak mudharat di sini yakni adanya perdamaian atau perbaikan antar manusia.  
            Dalam surat lain yakni QS.Ali Imran : 133- 134 Allah menyampaikan bahwasannya untuk mencapai ahlak terpuji yang tingkat atas Allah lebih menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan kesalahan. Dalam ayat tersebut di gambarkan ciri orang yang bertkawa diantaranya adalah mereka yang kebiasaannya atau terus menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah, yang kedua yakni orang yang mampu menahan amarahnya terhadap orang yang telah menyakitinya dan mema’afkannya, bahkan sangat terpuji mereka yang berbuat kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan, dengan sikap tersebut Allah sangat menyukai dan akan melimpahkan rahmat serta anugerah-Nya tanpa henti untuk orang-orang yang berbuat kebajikan.  
Disebutkan pula dalam surat lain, yakni QS. Fushshilat ayat 34, Allah berfirman yang artinya “ dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”        Dalam ayat itu di tafsirkan bahwa apabila seseorang memusuhi orang lain dan memperlakukannya dengan tidak wajar, maka pada saat itu pula sebenarnya dia sadari ada benih kebaikan yang terpendam. Namun bila rasa yang terpendam tadi dihadapi dengan sikap bersahabat maka sikapnya akan mengundang benih-benih kebaikan. Sehingga tiba-tiba segera pula ia menjadi baik.
             
E. HIKMAH SURAT AN NISA’ AYAT 148
1.      Firman Allah yang telah dijelaskan di atas menyadarkan kepada kita akan rahmat Allah yang terlukis dalam kehidupan ini, walaupun sebuah musibah telah melanda kita. Yaitu selalu sabar dalam menghadapinya.
2.      Kita dapat merasakan hakikat nikmat Ilahi yang terdapat pada Nabi Muhammad SAW. Sebagai panutan yang sangat sabar dan berbuat baik pada orang yang telah menyakitinya.
3.      Melatih untuk selalu menahan amarah saat ada seseorang yang mendzolimi kita.
4.      Allah akan lebih mencintai orang yang bersedia member ma’af pada musuhnya karena hal tersebut merupakan ciri-ciri orang yang bertawakkal.






PENUTUP
KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak menyukai perbuatan buruk secara terang-terangan , sehingga tidak merestuinya dan bahkan menjatuhkan sanksi kepada pelakunya. Tetapi pembalasan tersebut serta akibat penganiayaan dari yang bersangkutan harus setimpal (yang patut mereka dapatkan). Namun hal itu bukanlah sebuah kewajiban, karena Allah adalah dzat yang maha pema’af lagi maha kuasa. Karena hal ini sudah dijelaskan pada QS. An nisa’ 149. Dalam ayai ini memang Allah lebih menyukai seseorang yang mau berlaku baik pada orang yang telah menyakitinya atau memberi ma’af. Tetapi hali ini bukanlah sebuah kewajiban, hanya anjuran. Karena Allah sesunggunya akan berterimakasih atau memberi ma’af pada hambanya jika hambanya telah berterimakasih pada manusia lainnya.
            Jadi kedua anjuran tersebut tergantung pada diri masing-masing setiap hamba. Jika memang dia harus melampiaskan kata-kata buruk untuk membebaskan dirinya dari penganiayaan makaa hal tersebut juga diperbolehkan dengan syarat tidak berlebihan atau sekedarnya saja. Tetapi jika memang meneladani sifat Allah yang maha pema’af dan kuasa maka lebih dianjurkan bagi seorang hamba untuk mema’afkan dan mendo’akan orang yang telah menganiayanya.










DAFTAR  PUSTAKA
Ø  Dahlan,H.A.A.2000. Asbabun Nuzul. Bandung: penerbit Diponegoro
Ø  Shihab,M Quraish.2002. Tafsir Al Mishbah:pesan,kesan dan keserasian Alqur’an. Jakarta: Lentera Hati
Ø  Al Bursawi,Ismail Hakki.2006. Kitab Ruhul Bayan. Libanon: Darul Fikri
Ø  Syafi’I, Edham.1993. Kamus Lengkap Alqur’an. Jaksel : CV. Alhasanah
Ø  Imam Ash Suyuti, Hasyiah Ashowi ‘Ala Tafsir Jalaalaini, Alharamain.
Ø  Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad Al Anshori AlQurtubi. Al Jami’ul Ahkam Alqur’an. Libanon: Darul Fikri.   ( jilid 3)
Ø  Prof. Hamka. 1984. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas


Your Reply